Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

#HTBDUB 2

               Sejak kecil, aku memang sudah menyandang sebutan sebagai anak yang mudah menangis. Entah itu menangis karena bahagia, sedih, haru ataupun marah. Dan aku tidak tahu apakah itu termasuk hal yang aneh atau biasa saja.

               Hingga tiba saat itu, Ayahku dipindah kerja oleh perusahaannya ke kota lain, di luar Bandung. Ya, Jakarta Selatan tempat dimana aku sekarang tinggal. Keadaan itu mengharuskanku sekeluarga untuk pindah meninggalkan lingkungan yang sangat berarti bagiku. Teman-teman, tetangga, semua sudah seperti menyatu dalam darahku. Berat bagiku untuk melepaskan mereka. Dan aku yakin, mereka pasti juga berat untuk melepaskanku.

                Dilingkungan yang baru ini aku mulai beradaptasi. Keadaanku yang tidak memiliki kakak ataupun adik mempersulit diriku untuk menerima semua ini. Jika dulu aku hanya seorang gadis yang pemalu, sekarang tidak. Aku menjadi penakut. Aku takut bergabung bersama mereka. Jika mereka sedang bermain bersama, bercanda bersama, aku hanya bisa memandanginya dengan tatapan nanar seorang gadi kecil yang kesepian. Malang untuk dipandang.
                Sampai di suatu sore, aku melihat seorang anak sebaya denganku sedang tertunduk sedih di pojokan taman sebuah rumah. Saat itu yang ada dipikiranku hanya penasaran apa yang terjadi dengannya. Sedikit kepo memang. Tapi aku ingin menjadi temannya. Dan tanpa perhitungan waktu, aku hampiri dia dengan niat berteman dengannya. Mungkin saat itu aku sedang dirasuki malaikat karena berani mendekatinya, haha. Tapi, ketika aku akan memasuki pekarangan rumah itu, ia malah berlari masuk ke dalam. Aku yang melihatnya hanya terdiam. Apa ia takut denganku karena belum mengenaliku, pikirku. Akhirnya akupun memutuskan untuk melanjutkan saja langkahku. Berbalik dan sendiri lagi. Menghembuskan nafas panjang.
                Dan pagi harinya, saat sedang berjalan-jalan menikmati bersihnya udara pagi, aku melihat anak itu lagi. Tapi saat itu ia tidak sendirian. Ia berjalan bersama segerombolan anak-anak, yah, ada yang sebaya, lebih besar atau bahkan lebih kecil darinya. Tanpa kusadari, aku tersenyum melihatnya. Dan itu membuatku berniat untuk mengikutinya.
                Ternyata mereka menuju kesebuah lapangan basket. Aku pikir mereka akan bermain basket bersama sama. Tapi ternyata tidak. Tiba-tiba saja salah seorang dari gerombolan itu mendorong tubuh anak itu hingga ia jatuh terjerembab. Aku bisa melihat anak itu meringis, sedikit. Mungkin ia kesakitan namun ditahan. Tapi, mengapa ia tak kunjung bangkit? Kok malah diam saja tak ada perlawanan? Kulihat salah seorang yang lain mulai menendangi anak itu. Aaa! Aku menutupi kedua mataku dengan telapak tanganku. Aku tak kuat!
                Rupanya tanpa sadar aku mulai geram pada mereka. Mereka sudah keterlaluan. Menyakiti anak dengan kekerasan fisik itu sudah merupakan sebuah pelanggaran dalam Undang-Undang. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertindak, menolong teman sebayaku, seperjuanganku!
                Entah setan apa kali itu yang merasukiku sampai bisa membuatku berjalan tegap ke arah mereka. Rasa rasanya mataku sudah berkilat kilat bak pedang yang baru saja di asah. Oke sedikit lebay. Tapi benar tidak kupercaya, keberanianku muncul dengan tiba-tiba. Parahnya, aku belum pernah, seumur hidupku merasakan keberanian yang seperti itu. Hingga aku besar sekarang, hanya itu, kali itu, tidak akan terulang kembali sepertinya.
                “Hei kalian, lepaskan anak itu!” teriakku mengejutkan mereka. Sorotan mata mereka seketika itu juga menghujam batinku. Bergetar, aku takut. Tapi aku juga tidak bisa menipu diriku sendiri, bahwa aku muak dengan rupa-rupa mereka.
                “Hei anak kecil, minggir kamu! Ini bukan urusanmu!” teriak salah satu dari mereka. Mendengar bentakan seperti itu mataku memicing, kau kira aku takut apa.
                “Mentang-mentang kalian lebih besar daripada kami kalian bisa bebas memperlakukan kami seenaknya. Kami tidak terima!” kata ku semakin geram. Tanganku mulai mengepal.
                “Hahahahah...!” , mereka semua tertawa. “Hei anak kecil, memangnya kamu bisa apa, heh?! Hahaha”.
                Menyebalkan sekali mereka. Mereka pikir mereka yang paling hebat begitu? Sombong. Payah. Eh, tunggu, hei, mengapa anak itu tetap diam meskipun aku membantunya? Ada apa dengan dia? Atau mungkin, bisukah ia?
                Hah, pikiran itu melayang layang dibenakku. Bagaimana tidak? Aku tidak habis pikir dengannya. Apa ia tidak melihat, aku melawan segerombolan itu sendirian? Apalagi diriku juga perempuan, sedangkan ia laki-laki. Ah, tiba-tiba saja aku menjadi sebal dengannya. Parah. Yang ditindas itu kan dia, bukan aku.
                “Hei anak kecil, sekarang katakan, apa maumu?!” tanya seorang dari mereka. Itu pertanyaan yang menyebalkan. Sudah jelas kan aku ingin mereka melepaskan anak itu.
                “Mmm kalian ku tantang!”. Eh, apa? Apa yang barusan? Aku mengatakan apa?
                “Hahaha..” mereka tertawa lagi. Kali ini terpingkal pingkal. “Kamu? Menantang kami ha? Nggak salah? Hahaha”
                Aku semakin panas dibuatnya. Ingin sekali rasanya kutonjok satu persatu muka mereka hingga lebam dan biru. Tapi sekarang, benar juga, aku bingung. Apa yang sedang kulakukan? Aku akan menantang apa? Aku tidak bisa apa-apa. Kupaksa otakku untuk berpikir cepat. Yah, otakku tumpul. Apa aku telah salah jalan? Sepertinya iya.
                “Hei apa! Cepat katakan!” mereka mulai berteriak teriak tak sabaran, riuh berbisik mencibir diriku. Mereka sebal karena menungguku yang sok ini memikirkan hal-hal yang memang tidak masuk akal. Baiklah aku minta maaf untuk kali ini, aku menyerah. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
                “Cih kelamaan! Ayo kita bertanding basket saja. Siapa yang kuat dia yang menang!” tantang salah seorang anak dari mereka. Anak berperawakan tinggi, putih, berambut cepak itu bagiku terlihat pongah sekali. Dari segi fisiknya kurasa ia memang mahir bermain basket. Oya? Darimana aku tahu. Penampilan seseorang tidak bisa menjamin apa kegemarannya. Kalaupun aku bisa menebaknya, berarti itu hanya sebuah kebetulan atau ketidak sengajaan.
                “Ok, siapa takut!” jawabku menerima tantangannya. “Andai aku yang menang, kalian semua harus minta maaf kepada kami”. Oi oi halloo Ninaa, apa yang kamu lakukan. Kau sudah gila! Lihatlah dirimu, kau terlalu kecil dan pendek untuk bermain basket. Seorang gadis kelas 5 SD sepertimu sudah pasti akan kalah.
                “Oke. Dan andai kami yang menang, kau harus pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami!”
                Oke, itu impas. Tapi, apa yang ia katakan tadi? Aku? Apakah itu berarti aku harus benar-benar melawannya—seorang diri? Sekarang aku baru sadar kalau aku ini memang sudah gila.
                Tapi untunglah, ternyata aku tidak benar benar gila seutuhnya. Mereka merubah aturan mainnya. Peraturannya, masing masing dari kami akan mendapat kesempatan melempar bola ke ring sebanyak 10 kali dari titik Three point. Siapa yang mendapat poin paling banyak dialah yang akan menang.
                Huft, aku bersyukur. Seandainya kala itu mereka benar-benar mengadakan pertandingan itu, tentu saja aku akan merasa sangat malu. Bagaimana tidak, aku haya akan terlihat seperti anak kecil yang berlari mengejar balon yang terlepas dari genggamannya. Masa lalu yang suram—unik.
                Satu persatu mereka mulai membubarkan diri, meninggalkan anak itu terbaring di mistar lapangan sendiri. Entah sudah berapa tendangan yang mendarat pada tubuh anak itu. Benar-benar tidak berperikemanusiaan. Miris aku melihatnya. Dan mau tidak mau aku harus menerima, bahwa ini adalah lingkunganku yang sekarang. Aku hidup disini.
                Aku menatap muka anak itu. Tak ada sorot ataupun raut kebencian yang terpancar disana. Anak aneh. Apakah ada, orang yang membiarkan harga dirinya terinjak injak begitu saja tanpa perlawaan sedikitpun? Huft, sabarlah. Mungkin memang itu bukan tipikalmu. Dan aku merasakannya.
                “Hei, kamu nggak papa kan?” tanyaku berharap keadaannya baik baik saja. Sayang, ia hanya bangkit berdiri, dan mengutaskan seulas senyum. Tulus, tapi misterius.
                “Anak kecil, cepat kemari! Kau giliran pertama” teriak anak berambut cepak tadi mengagetkanku. Aku hanya bisa pasrah disebut dengan giliran pertama. Tapi aku tidak boleh kalah. Tidak boleh kalah hanya karena mendapat giliran pertama. Tidak boleh. Aku harus siap. Siap. Sekarang. Siap.
                Aku langkahkan kaki memasuki area pertandingan. Gugup sedikit demi sedikit mendekatiku, mengajakku bermain main bersama. Aku berusaha memfokuskan pandangan tepat di titik mati. Sempat beberapa kali aku melirik anak itu. Ia tetap saja diam, datar dan tanpa ekspresi. Menurutku, anak itu benar benar dingin.
                Hei, tunggu. Kenapa aku mau membantunya. Kenapa aku mencampuri urusannya yang sama sekali bukan urusanku. Ini aneh. Siapa ia? Kerabat? Tentu saja bukan, karena tetanggapun juga bukan.
                “Mulailah!” perintah anak berambut cepak itu, menandakan bahwa waktuku telah tiba. Menyerangku dengan formasi yang bertubi tubi.
                Aku mulai mendrible bola. Bola yang lumayan berat untuk ukuran anak kelas lima SD sepertiku ini jadi terlihat besar ditanganku. Tangan kecil ini jadi tidak bisa mendriblenya dengan baik. Dalam hati aku hanya bisa berdoa, Ya Allah bantu aku.
                Aku mencoba melakukan shooting yang pertama. Dan apa yang terjadi? Bola itu menabrak tiang penyangga ring. Terpantul keras menuju tempat ku berdiri. Rasanya saat itu hanya tertawaan setan setan yang memenuhi telingaku. Bukan hanya tertawaan, cacian pun keluar juga dari mulut mereka. Pandanganku nanar menatap bola yang terpantul pantul seolah mengejekku. Ingin aku menangis saat itu juga, tapi tidak bisa. Aku tidak mau anak itu ataupun gerombolan itu melihatku menangis. Karena itu berarti mereka akan tahu kalau aku sebenernya cengeng.
                Dan tiba-tiba saja aku jadi teringat dengan Kak Reza. Huhu, kakak dimana sekarang, Nina butuh bantuan kakak. Kurasakan suara hatiku mulai berteriak. Aku merindukannya, merindukan semua. Rindu akan kenangan yang disana. Teman, doakan Nina disini.
                Aku mendongakkan kepalaku. Memandang secercah harapan yang telah menunggu dibelakangku dengan gemilang. Walaupun kemungkinan besar hasil dibawah kurang itu besar, tidak mengapa. Yang penting aku telah mencoba berusaha untuk bisa.
                Bola mulai ku drible lagi dengan tangan kecilku. Terseok seok ku mempersiapkan semua, dan yak! Aku melempar bola itu sekuat tenaga. Melambung, berputar dan brakk!! Menabrak papan dimana tempat ring itu menggantung.
                Aku bisa mendengar, sekarang tawaan mereka lebih keras terdengar. Menusuk telingaku, mengiris hatiku, meretakkan harapanku! Sudah dua kali aku mencoba, tapi kenapa gagal semua! Bola ku tak sampai, tanganku tak sampai, lalu, apa yang bisa membuatku sampai padanya!
                Aku tatap ring itu sekali lagi dengan tatapan bingung, menerawang sedih dan kecewa. Apa yang bisa membuat bolaku memasukimu ring! Tunggu, mengapa aku tidak meminta anak itu saja yang melakukan pertandingan ini. Bukankah ia lebih tinggi dariku dan terlihat lebih mampu dibanding denganku.
                Tapi tidak, aku masih bisa kok melakukannya sendiri. Lagipula yang menantang itu kan aku, bukan anak itu. Ia hanya berstatus sebagai anak yang kutolong. Dan aku disini masih sanggup berdiri dan mencobanya lagi.
                Aku pungut bola itu dan kembali mendriblenya. Kali ini aku sengaja mendriblenya lebih lama dari sebelumnya karena aku ingin lebih bisa mengendalikan pikiranku. Ini adalah lemparan yang ketiga. Lemparanku kali ini harus bisa mencapai ring. Aku akan melompat. Kakiku akan ku lompatkan setinggi tingginya untuk menambah ketinggianku.
                Yak, kaki telah melompat dan bola pun telah dilempar. Tapi ternyata, Allah berkehendak lain. Aku kurang bisa menjaga keseimbangan saat melompat karena faktor bola yang berat dan aku terlampau menariknya kebelakang kepala. Hal itu menyebabkan aku terjengkang kebelakang dan bola melambung kedepan. Semakin kedepan semakin rendah dan semakin menukik hingga akhirnya lepas landas, terpantul pantul pelan mengiringi bunyi jatuh berdebum seorang anak kecil. Aku jatuh, terjungkal ke belakang. Sakit.
                Senyap, diam, dan...
                “Wahahahaha..!!!” Bisa kupastikan seluruh anak yang tergabung dalam gerombolan itu menertawakanku. Tertawa sepuas puasnya, lepas, terpingkal-pingkal menahan sakit perut mereka. Mukaku pias, tertunduk, menahan sakit di jiwa dan di raga. Hingga tak terasa ada hujan yang turun di sudut mata.
                “Hei anak kecil, jatuh yaa?! Hahaha, udah ngalah aja.. hahaha!” ledek mereka.
                Bagaimana ini. Aku tidak sanggup mengangkat wajahku sendiri. Aku tidak sanggup. Sungguh tidak sanggup. Aku menangis.
                Sampai saat itu, tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang datang menghampiriku. Aku ingin melihat siapa itu, tapi tidak bisa. Aku tidak punya keberanian sedikitpun untuk mengangkat wajahku. Aku malu.
                “Mengapa kau tidak minta bantuanku?”
                Suara siapa itu? maaf, aku tidak mengenalimu...
                “Kita kan berdua, kau tidak sendirian” suara itu kembali terdengar.
                Berdua? Apa, mungkinkah suara ini milik anak itu? Dan jangan jangan, orang yang berada disampingku kini ia pula? Alamak, aku tidak percaya. Mengapa baru sekarang ia meresponku.
                Perlahan aku mulai merasakan ia berjalan menjauhiku. Entah kemana.
                Duk, duk, duk, crek... duk, duk, duk.
                Apa, a-a-pa ini. Aku tidak percaya. Yang tadi itu, ma-masukkah? Apa itu tadi anak itu?
                Crekk..
                Masuk lagi. Siapa? Serius anak itu? Ia yang sejak tadi tidak bergeming sedikitpun sekarang masuk ke lapangan untuk menggantikanku? Haha, tidak lucu.
                Crekk.. duk,duk
                Oke, sekarang aku tidak percaya. Tapi aku harus percaya, tujuh dari sisa lemparanku berhasil ia masukkan. Aku menghitungnya tadi bersama dengan tangisku.
                Terdengar hembusan nafas lega keluar dari mulut anak itu. Selesaikah? Riuh gemuruh gerombolan itu mulai terdengar lagi. Bukan gemuruh, agak lebih tepat bila dibilang kasak kusuk. Sedangkan aku? Aku masih tertunduk ditengah lapangan oi. Ingin aku tersenyum, tapi tak bisa. Ingin ku angkat mukaku, tapi tak kuat. Ingin aku hentikan tangisku, tapi tak tahan. Ingin ku berdiri, tapi tak mampu. Inilah gambaran orang pasrah.
                “Plok plok plok plok plok! Poin kalian 7, selamat” si rambut cepak menyalami anak itu.  “Sekarang, minggir kalian dari sini. Giliran kami yang main” usirnya.
                Tanpa berlama lama, anak aneh itu berjalan menghampiriku, mengambil tanganku dan mengajakku menyingkir dari lapangan itu, tanpa berkata apa-apa. Diam, dingin, beku. Tapi syukurlah, tangisku telah berhenti, dan aku pun haya ikut diam, mengikutinya.
                Dengan cepat dan cekatan karena sudah mahir, anak berambut cepak itu menyelesaikan kesempatannya dengan rapi dan sempurna. Kulihat ia tersenyum puas dengan senyuman yang membuatku ingin menamparnya. Apa mau mereka sebenarnya memperlakukan kami seperti ini. Terlebih lagi memperlakukan anak itu seperti itu.
                Kulihat mereka bersorak ria, gembira karena mereka lah yang memenangkan pertandingan ini. Mereka puas melihat kami, terutama aku yang sok ini terjuntai lemah kalah. Hatiku dilanda rasa bersalah, sedih, resah. Mengapa aku melakukan semua ini. Memangnya aku ini siapa. Lalu, apa yang akan terjadi pada anak itu selanjutnya.
“Hei, kalian lihat sendiri kan siapa diantara kita yang memenangkan pertandingan ini” kata rambut cepak sambil mengibaskan rambutnya. Bagiku itu terlihat pongah dan jelek sekali.
    “Seandainya aja tadi gadis bego ini bisa cerdas dikit hasilnya mungkin akan seri, hahaha”
    Jlebb. Aku terpojokkan. Ya, aku memang bodoh. Aku lemah, tidak berguna. Semua yang kulakukan memang salah seutuhnya. Aku tidak bisa diandalkan.
    “Dan sekarang karena kami yang menang, sesuai kesepakatan, kau,-harus pergi dan jangan campuri urusan kami lagi”, ancam si rambut cepak. Aku hanya menatapnya berharap ia berbelas kasihan kepadaku sedikit.
    Tapi ternyata itu hanya pengharapan yang sia-sia. Rame-rame mereka menarik anak itu mengikuti mereka. Dan masih tetap, tidak ada perlawanan sama sekali dari anak itu. Bedanya, kali ini aku juga tidak melawan. Aku sudah teramat lelah dengan pagi ini. Waktu begitu cepat berlalu. Menyisakan pagi yang kelam dan menyedihkan. Menyerbu rahasia yang masih tersimpan di detik-detik selanjutnya.
    “Maafkan aku teman, maafkan” kataku lirih sembari menatapnya pergi, kemudia berbalik melangkah gontai menuju rumah yang masih penuh dengan teka teki. Entah, kenapa aku yang meminta maaf. Mungkin karena aku sendiri bingung dengan apa yang harus aku katakan. Maaf adalah kata paling aman yang aku pikirkan saat itu. Dan saat itu pula aku berpikir, kapan aku bisa menyibak semua teka teki itu.
    Mungkin sekarang inilah jawabannya. Aku tidak akan pernah ditakdirkan menguak misteri itu selamanya. Karena memang sampai sekarangpun aku tetap tidak mengetahuinya, haha. Konyol. Bagai maling tidak tahu apa yang hendak ia curi.
    Akhirnya, aku habiskan sisa waktuku hari itu dengan berjalan jalan. Meniti trotoar sepanjang jalan perumahan, mengamati kendaraan yang berlalu lalang, dan menikmati daun yang bergoyang di hembus angin terbang. Hingga akhirnya rasa lelah menyerang, membuat kakiku ingin melangkah pulang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar