Sejak
kecil, aku memang sudah menyandang sebutan sebagai anak yang mudah menangis.
Entah itu menangis karena bahagia, sedih, haru ataupun marah. Dan aku tidak
tahu apakah itu termasuk hal yang aneh atau biasa saja.
Hingga tiba saat itu, Ayahku dipindah kerja oleh perusahaannya ke kota lain, di luar Bandung. Ya, Jakarta Selatan tempat dimana aku sekarang tinggal. Keadaan itu mengharuskanku sekeluarga untuk pindah meninggalkan lingkungan yang sangat berarti bagiku. Teman-teman, tetangga, semua sudah seperti menyatu dalam darahku. Berat bagiku untuk melepaskan mereka. Dan aku yakin, mereka pasti juga berat untuk melepaskanku.
Hingga tiba saat itu, Ayahku dipindah kerja oleh perusahaannya ke kota lain, di luar Bandung. Ya, Jakarta Selatan tempat dimana aku sekarang tinggal. Keadaan itu mengharuskanku sekeluarga untuk pindah meninggalkan lingkungan yang sangat berarti bagiku. Teman-teman, tetangga, semua sudah seperti menyatu dalam darahku. Berat bagiku untuk melepaskan mereka. Dan aku yakin, mereka pasti juga berat untuk melepaskanku.
Dilingkungan
yang baru ini aku mulai beradaptasi. Keadaanku yang tidak memiliki kakak
ataupun adik mempersulit diriku untuk menerima semua ini. Jika dulu aku hanya
seorang gadis yang pemalu, sekarang tidak. Aku menjadi penakut. Aku takut
bergabung bersama mereka. Jika mereka sedang bermain bersama, bercanda bersama,
aku hanya bisa memandanginya dengan tatapan nanar seorang gadi kecil yang
kesepian. Malang untuk dipandang.
Sampai
di suatu sore, aku melihat seorang anak sebaya denganku sedang tertunduk sedih
di pojokan taman sebuah rumah. Saat itu yang ada dipikiranku hanya penasaran
apa yang terjadi dengannya. Sedikit kepo memang. Tapi aku ingin menjadi
temannya. Dan tanpa perhitungan waktu, aku hampiri dia dengan niat berteman
dengannya. Mungkin saat itu aku sedang dirasuki malaikat karena berani
mendekatinya, haha. Tapi, ketika aku akan memasuki pekarangan rumah itu, ia
malah berlari masuk ke dalam. Aku yang melihatnya hanya terdiam. Apa ia takut
denganku karena belum mengenaliku, pikirku. Akhirnya akupun memutuskan untuk
melanjutkan saja langkahku. Berbalik dan sendiri lagi. Menghembuskan nafas
panjang.
Dan pagi
harinya, saat sedang berjalan-jalan menikmati bersihnya udara pagi, aku melihat
anak itu lagi. Tapi saat itu ia tidak sendirian. Ia berjalan bersama
segerombolan anak-anak, yah, ada yang sebaya, lebih besar atau bahkan lebih
kecil darinya. Tanpa kusadari, aku tersenyum melihatnya. Dan itu membuatku
berniat untuk mengikutinya.
Ternyata
mereka menuju kesebuah lapangan basket. Aku pikir mereka akan bermain basket
bersama sama. Tapi ternyata tidak. Tiba-tiba saja salah seorang dari gerombolan
itu mendorong tubuh anak itu hingga ia jatuh terjerembab. Aku bisa melihat anak
itu meringis, sedikit. Mungkin ia kesakitan namun ditahan. Tapi, mengapa ia tak
kunjung bangkit? Kok malah diam saja tak ada perlawanan? Kulihat salah seorang
yang lain mulai menendangi anak itu. Aaa! Aku menutupi kedua mataku dengan
telapak tanganku. Aku tak kuat!
Rupanya
tanpa sadar aku mulai geram pada mereka. Mereka sudah keterlaluan. Menyakiti
anak dengan kekerasan fisik itu sudah merupakan sebuah pelanggaran dalam
Undang-Undang. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertindak, menolong teman
sebayaku, seperjuanganku!
Entah
setan apa kali itu yang merasukiku sampai bisa membuatku berjalan tegap ke arah
mereka. Rasa rasanya mataku sudah berkilat kilat bak pedang yang baru saja di
asah. Oke sedikit lebay. Tapi benar tidak kupercaya, keberanianku muncul dengan
tiba-tiba. Parahnya, aku belum pernah, seumur hidupku merasakan keberanian yang
seperti itu. Hingga aku besar sekarang, hanya itu, kali itu, tidak akan
terulang kembali sepertinya.
“Hei
kalian, lepaskan anak itu!” teriakku mengejutkan mereka. Sorotan mata mereka
seketika itu juga menghujam batinku. Bergetar, aku takut. Tapi aku juga tidak
bisa menipu diriku sendiri, bahwa aku muak dengan rupa-rupa mereka.
“Hei
anak kecil, minggir kamu! Ini bukan urusanmu!” teriak salah satu dari mereka.
Mendengar bentakan seperti itu mataku memicing, kau kira aku takut apa.
“Mentang-mentang
kalian lebih besar daripada kami kalian bisa bebas memperlakukan kami seenaknya.
Kami tidak terima!” kata ku semakin geram. Tanganku mulai mengepal.
“Hahahahah...!”
, mereka semua tertawa. “Hei anak kecil, memangnya kamu bisa apa, heh?!
Hahaha”.
Menyebalkan
sekali mereka. Mereka pikir mereka yang paling hebat begitu? Sombong. Payah.
Eh, tunggu, hei, mengapa anak itu tetap diam meskipun aku membantunya? Ada apa
dengan dia? Atau mungkin, bisukah ia?
Hah,
pikiran itu melayang layang dibenakku. Bagaimana tidak? Aku tidak habis pikir
dengannya. Apa ia tidak melihat, aku melawan segerombolan itu sendirian?
Apalagi diriku juga perempuan, sedangkan ia laki-laki. Ah, tiba-tiba saja aku
menjadi sebal dengannya. Parah. Yang ditindas itu kan dia, bukan aku.
“Hei
anak kecil, sekarang katakan, apa maumu?!” tanya seorang dari mereka. Itu
pertanyaan yang menyebalkan. Sudah jelas kan aku ingin mereka melepaskan anak
itu.
“Mmm kalian
ku tantang!”. Eh, apa? Apa yang barusan? Aku mengatakan apa?
“Hahaha..”
mereka tertawa lagi. Kali ini terpingkal pingkal. “Kamu? Menantang kami ha? Nggak
salah? Hahaha”
Aku
semakin panas dibuatnya. Ingin sekali rasanya kutonjok satu persatu muka mereka
hingga lebam dan biru. Tapi sekarang, benar juga, aku bingung. Apa yang sedang
kulakukan? Aku akan menantang apa? Aku tidak bisa apa-apa. Kupaksa otakku untuk
berpikir cepat. Yah, otakku tumpul. Apa aku telah salah jalan? Sepertinya iya.
“Hei
apa! Cepat katakan!” mereka mulai berteriak teriak tak sabaran, riuh berbisik
mencibir diriku. Mereka sebal karena menungguku yang sok ini memikirkan hal-hal
yang memang tidak masuk akal. Baiklah aku minta maaf untuk kali ini, aku
menyerah. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
“Cih
kelamaan! Ayo kita bertanding basket saja. Siapa yang kuat dia yang menang!”
tantang salah seorang anak dari mereka. Anak berperawakan tinggi, putih,
berambut cepak itu bagiku terlihat pongah sekali. Dari segi fisiknya kurasa ia
memang mahir bermain basket. Oya? Darimana aku tahu. Penampilan seseorang tidak
bisa menjamin apa kegemarannya. Kalaupun aku bisa menebaknya, berarti itu hanya
sebuah kebetulan atau ketidak sengajaan.
“Ok,
siapa takut!” jawabku menerima tantangannya. “Andai aku yang menang, kalian
semua harus minta maaf kepada kami”. Oi oi halloo Ninaa, apa yang kamu lakukan.
Kau sudah gila! Lihatlah dirimu, kau terlalu kecil dan pendek untuk bermain
basket. Seorang gadis kelas 5 SD sepertimu sudah pasti akan kalah.
“Oke.
Dan andai kami yang menang, kau harus pergi dari sini dan jangan mencampuri
urusan kami!”
Oke,
itu impas. Tapi, apa yang ia katakan tadi? Aku? Apakah itu berarti aku harus
benar-benar melawannya—seorang diri? Sekarang aku baru sadar kalau aku ini
memang sudah gila.
Tapi
untunglah, ternyata aku tidak benar benar gila seutuhnya. Mereka merubah aturan
mainnya. Peraturannya, masing masing dari kami akan mendapat kesempatan
melempar bola ke ring sebanyak 10 kali dari titik Three point. Siapa yang
mendapat poin paling banyak dialah yang akan menang.
Huft,
aku bersyukur. Seandainya kala itu mereka benar-benar mengadakan pertandingan
itu, tentu saja aku akan merasa sangat malu. Bagaimana tidak, aku haya akan
terlihat seperti anak kecil yang berlari mengejar balon yang terlepas dari
genggamannya. Masa lalu yang suram—unik.
Satu
persatu mereka mulai membubarkan diri, meninggalkan anak itu terbaring di
mistar lapangan sendiri. Entah sudah berapa tendangan yang mendarat pada tubuh
anak itu. Benar-benar tidak berperikemanusiaan. Miris aku melihatnya. Dan mau tidak
mau aku harus menerima, bahwa ini adalah lingkunganku yang sekarang. Aku hidup
disini.
Aku
menatap muka anak itu. Tak ada sorot ataupun raut kebencian yang terpancar
disana. Anak aneh. Apakah ada, orang yang membiarkan harga dirinya terinjak
injak begitu saja tanpa perlawaan sedikitpun? Huft, sabarlah. Mungkin memang
itu bukan tipikalmu. Dan aku merasakannya.
“Hei,
kamu nggak papa kan?” tanyaku berharap keadaannya baik baik saja. Sayang, ia
hanya bangkit berdiri, dan mengutaskan seulas senyum. Tulus, tapi misterius.
“Anak
kecil, cepat kemari! Kau giliran pertama” teriak anak berambut cepak tadi
mengagetkanku. Aku hanya bisa pasrah disebut dengan giliran pertama. Tapi aku
tidak boleh kalah. Tidak boleh kalah hanya karena mendapat giliran pertama.
Tidak boleh. Aku harus siap. Siap. Sekarang. Siap.
Aku
langkahkan kaki memasuki area pertandingan. Gugup sedikit demi sedikit
mendekatiku, mengajakku bermain main bersama. Aku berusaha memfokuskan
pandangan tepat di titik mati. Sempat beberapa kali aku melirik anak itu. Ia
tetap saja diam, datar dan tanpa ekspresi. Menurutku, anak itu benar benar
dingin.
Hei,
tunggu. Kenapa aku mau membantunya. Kenapa aku mencampuri urusannya yang sama
sekali bukan urusanku. Ini aneh. Siapa ia? Kerabat? Tentu saja bukan, karena
tetanggapun juga bukan.
“Mulailah!”
perintah anak berambut cepak itu, menandakan bahwa waktuku telah tiba.
Menyerangku dengan formasi yang bertubi tubi.
Aku
mulai mendrible bola. Bola yang lumayan berat untuk ukuran anak kelas lima SD
sepertiku ini jadi terlihat besar ditanganku. Tangan kecil ini jadi tidak bisa
mendriblenya dengan baik. Dalam hati aku hanya bisa berdoa, Ya Allah bantu aku.
Aku
mencoba melakukan shooting yang pertama. Dan apa yang terjadi? Bola itu
menabrak tiang penyangga ring. Terpantul keras menuju tempat ku berdiri. Rasanya
saat itu hanya tertawaan setan setan yang memenuhi telingaku. Bukan hanya
tertawaan, cacian pun keluar juga dari mulut mereka. Pandanganku nanar menatap
bola yang terpantul pantul seolah mengejekku. Ingin aku menangis saat itu juga,
tapi tidak bisa. Aku tidak mau anak itu ataupun gerombolan itu melihatku
menangis. Karena itu berarti mereka akan tahu kalau aku sebenernya cengeng.
Dan
tiba-tiba saja aku jadi teringat dengan Kak Reza. Huhu, kakak dimana sekarang,
Nina butuh bantuan kakak. Kurasakan suara hatiku mulai berteriak. Aku
merindukannya, merindukan semua. Rindu akan kenangan yang disana. Teman, doakan
Nina disini.
Aku
mendongakkan kepalaku. Memandang secercah harapan yang telah menunggu
dibelakangku dengan gemilang. Walaupun kemungkinan besar hasil dibawah kurang
itu besar, tidak mengapa. Yang penting aku telah mencoba berusaha untuk bisa.
Bola
mulai ku drible lagi dengan tangan kecilku. Terseok seok ku mempersiapkan
semua, dan yak! Aku melempar bola itu sekuat tenaga. Melambung, berputar dan
brakk!! Menabrak papan dimana tempat ring itu menggantung.
Aku
bisa mendengar, sekarang tawaan mereka lebih keras terdengar. Menusuk telingaku,
mengiris hatiku, meretakkan harapanku! Sudah dua kali aku mencoba, tapi kenapa
gagal semua! Bola ku tak sampai, tanganku tak sampai, lalu, apa yang bisa
membuatku sampai padanya!
Aku
tatap ring itu sekali lagi dengan tatapan bingung, menerawang sedih dan kecewa.
Apa yang bisa membuat bolaku memasukimu ring! Tunggu, mengapa aku tidak meminta
anak itu saja yang melakukan pertandingan ini. Bukankah ia lebih tinggi dariku
dan terlihat lebih mampu dibanding denganku.
Tapi
tidak, aku masih bisa kok melakukannya sendiri. Lagipula yang menantang itu kan
aku, bukan anak itu. Ia hanya berstatus sebagai anak yang kutolong. Dan aku
disini masih sanggup berdiri dan mencobanya lagi.
Aku
pungut bola itu dan kembali mendriblenya. Kali ini aku sengaja mendriblenya
lebih lama dari sebelumnya karena aku ingin lebih bisa mengendalikan pikiranku.
Ini adalah lemparan yang ketiga. Lemparanku kali ini harus bisa mencapai ring. Aku
akan melompat. Kakiku akan ku lompatkan setinggi tingginya untuk menambah
ketinggianku.
Yak,
kaki telah melompat dan bola pun telah dilempar. Tapi ternyata, Allah
berkehendak lain. Aku kurang bisa menjaga keseimbangan saat melompat karena
faktor bola yang berat dan aku terlampau menariknya kebelakang kepala. Hal itu
menyebabkan aku terjengkang kebelakang dan bola melambung kedepan. Semakin kedepan
semakin rendah dan semakin menukik hingga akhirnya lepas landas, terpantul
pantul pelan mengiringi bunyi jatuh berdebum seorang anak kecil. Aku jatuh,
terjungkal ke belakang. Sakit.
Senyap,
diam, dan...
“Wahahahaha..!!!”
Bisa kupastikan seluruh anak yang tergabung dalam gerombolan itu
menertawakanku. Tertawa sepuas puasnya, lepas, terpingkal-pingkal menahan sakit
perut mereka. Mukaku pias, tertunduk, menahan sakit di jiwa dan di raga. Hingga
tak terasa ada hujan yang turun di sudut mata.
“Hei
anak kecil, jatuh yaa?! Hahaha, udah ngalah aja.. hahaha!” ledek mereka.
Bagaimana
ini. Aku tidak sanggup mengangkat wajahku sendiri. Aku tidak sanggup. Sungguh tidak
sanggup. Aku menangis.
Sampai
saat itu, tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang datang menghampiriku. Aku ingin
melihat siapa itu, tapi tidak bisa. Aku tidak punya keberanian sedikitpun untuk
mengangkat wajahku. Aku malu.
“Mengapa
kau tidak minta bantuanku?”
Suara siapa
itu? maaf, aku tidak mengenalimu...
“Kita
kan berdua, kau tidak sendirian” suara itu kembali terdengar.
Berdua?
Apa, mungkinkah suara ini milik anak itu? Dan jangan jangan, orang yang berada
disampingku kini ia pula? Alamak, aku tidak percaya. Mengapa baru sekarang ia
meresponku.
Perlahan
aku mulai merasakan ia berjalan menjauhiku. Entah kemana.
Duk,
duk, duk, crek... duk, duk, duk.
Apa,
a-a-pa ini. Aku tidak percaya. Yang tadi itu, ma-masukkah? Apa itu tadi anak
itu?
Crekk..
Masuk
lagi. Siapa? Serius anak itu? Ia yang sejak tadi tidak bergeming sedikitpun sekarang
masuk ke lapangan untuk menggantikanku? Haha, tidak lucu.
Crekk..
duk,duk
Oke, sekarang
aku tidak percaya. Tapi aku harus percaya, tujuh dari sisa lemparanku berhasil ia
masukkan. Aku menghitungnya tadi bersama dengan tangisku.
Terdengar
hembusan nafas lega keluar dari mulut anak itu. Selesaikah? Riuh gemuruh
gerombolan itu mulai terdengar lagi. Bukan gemuruh, agak lebih tepat bila
dibilang kasak kusuk. Sedangkan aku? Aku masih tertunduk ditengah lapangan oi. Ingin
aku tersenyum, tapi tak bisa. Ingin ku angkat mukaku, tapi tak kuat. Ingin aku
hentikan tangisku, tapi tak tahan. Ingin ku berdiri, tapi tak mampu. Inilah
gambaran orang pasrah.
“Plok
plok plok plok plok! Poin kalian 7, selamat” si rambut cepak menyalami anak
itu. “Sekarang, minggir kalian dari
sini. Giliran kami yang main” usirnya.
Tanpa
berlama lama, anak aneh itu berjalan menghampiriku, mengambil tanganku dan
mengajakku menyingkir dari lapangan itu, tanpa berkata apa-apa. Diam, dingin,
beku. Tapi syukurlah, tangisku telah berhenti, dan aku pun haya ikut diam,
mengikutinya.
Dengan cepat
dan cekatan karena sudah mahir, anak berambut cepak itu menyelesaikan
kesempatannya dengan rapi dan sempurna. Kulihat ia tersenyum puas dengan
senyuman yang membuatku ingin menamparnya. Apa mau mereka sebenarnya
memperlakukan kami seperti ini. Terlebih lagi memperlakukan anak itu seperti
itu.
Kulihat
mereka bersorak ria, gembira karena mereka lah yang memenangkan pertandingan
ini. Mereka puas melihat kami, terutama aku yang sok ini terjuntai lemah kalah.
Hatiku dilanda rasa bersalah, sedih, resah. Mengapa aku melakukan semua ini.
Memangnya aku ini siapa. Lalu, apa yang akan terjadi pada anak itu selanjutnya.
“Hei, kalian lihat sendiri kan siapa diantara kita yang
memenangkan pertandingan ini” kata rambut cepak sambil mengibaskan rambutnya. Bagiku
itu terlihat pongah dan jelek sekali.
“Seandainya aja tadi gadis bego
ini bisa cerdas dikit hasilnya mungkin akan seri, hahaha”
Jlebb. Aku terpojokkan. Ya, aku memang bodoh. Aku
lemah, tidak berguna. Semua yang kulakukan memang salah seutuhnya. Aku tidak
bisa diandalkan.
“Dan sekarang karena kami yang
menang, sesuai kesepakatan, kau,-harus pergi dan jangan campuri urusan kami
lagi”, ancam si rambut cepak. Aku hanya menatapnya berharap ia berbelas kasihan
kepadaku sedikit.
Tapi ternyata itu hanya
pengharapan yang sia-sia. Rame-rame mereka menarik anak itu mengikuti mereka.
Dan masih tetap, tidak ada perlawanan sama sekali dari anak itu. Bedanya, kali
ini aku juga tidak melawan. Aku sudah teramat lelah dengan pagi ini. Waktu
begitu cepat berlalu. Menyisakan pagi yang kelam dan menyedihkan. Menyerbu
rahasia yang masih tersimpan di detik-detik selanjutnya.
“Maafkan aku teman, maafkan”
kataku lirih sembari menatapnya pergi, kemudia berbalik melangkah gontai menuju
rumah yang masih penuh dengan teka teki. Entah, kenapa aku yang meminta maaf. Mungkin
karena aku sendiri bingung dengan apa yang harus aku katakan. Maaf adalah kata
paling aman yang aku pikirkan saat itu. Dan saat itu pula aku berpikir, kapan
aku bisa menyibak semua teka teki itu.
Mungkin sekarang inilah
jawabannya. Aku tidak akan pernah ditakdirkan menguak misteri itu selamanya.
Karena memang sampai sekarangpun aku tetap tidak mengetahuinya, haha. Konyol.
Bagai maling tidak tahu apa yang hendak ia curi.
Akhirnya, aku habiskan sisa
waktuku hari itu dengan berjalan jalan. Meniti trotoar sepanjang jalan
perumahan, mengamati kendaraan yang berlalu lalang, dan menikmati daun yang
bergoyang di hembus angin terbang. Hingga akhirnya rasa lelah menyerang,
membuat kakiku ingin melangkah pulang.
0 komentar:
Posting Komentar