karya Hanifa Azzahro
Burung bernyanyi menyenandungkan
doremi dengan senangnya. Membangunkan matahari yang tengah lelap dengan bintang
mimpinya. Ia rela menyingkap selimutnya untuk membagikan kehangatannya kepada
orang-orang di seluruh dunia. Termasuk Tanah Air tercintaku Indonesia. Duh,
cerahnya hari ini.
Kusambut pemberian itu dengan seulas
senyum bahagia. Bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan. Namun, hari ini
berbeda dari hari yang lainnya, kurasa. Tapi, entahlah, yang penting hari ini
aku bahagia.
KLEK!
KLEK!
Pintu kamarku terbuka oleh
seseorang. Oh, ternyata Ibu. Tapi, sepertinya firasat buruk menghiasi raut
mukanya. Tidak! Jangan nodai hari bahagiaku.
Terlambat! Ibu berlari memelukku, menangis
tersedu-sedu. Aku pasrah dengan hari bahagiaku ini. Lemas. Kuberanikan diriku
bertanya pada Ibu apa gerangan yang membuat Ibu menangis.
“Bu, Ibu
kenapa? Nina tidak mengerti..”.
Ibu tetap saja menangis memelukku, tak bergerak
sesenti pun. Pelan-pelan Ibu menatapku dengan tatapan memelas. Kupandangi raut
mukanya dengan penuh harap Ibu akan menghentikan tangisannya dan ikut tersenyum
bahagia bersamaku.
“Nak.. Nina..”. Ibu terbata bata
memanggil namaku. Berusaha menjelaskannya padaku. Aku diam, menunggu kata-kata
apa yang akan keluar dari mulut Ibu selanjutnya.“Nina.. Nina sudah besar.. sudah 14
tahun.. Nina hrs tegar ya.. yang sabar ya..”. Ibu terisak isak mengucapkan
kalimatnya. Tapi itu tak membuatku semakin mengerti. Malah membuatku semakin
bingung.
“Ibu.. Ibu tenanglah dulu.. Nina
bingung, Nina nggak ngerti Ibu kenapa”. Aku berusaha menahan air matanya,
mengusap butiran itu dengan jemariku.
“Pesawat.. hiks.. Ayahmu.. hiks..”.
Ibu memelukku. Membelai rambutku dengan sayang. Tangisannya semakin keras.
Menyesakkan dada. Dan akupun kini tercengang begitu kata Ayah terlontar. Aku
mulai waswas dengan pikiranku. Wahai hariku, apa yang sebenarnya kau rencanakan
untukku kali ini.
“Bu.. a,apa yang sudah terjadi pada
Ayah..?”. Mataku mulai memanas. Mulai membasah. Aku memeluk erat Ibu.
“A,Ayah.. Ayah.. tenggelam.. hiks”.
Tuntas sudah kenyataan yang
membayang-bayangi hari bahagiaku ini. Dadaku terasa sesak. Sungguh sesak. Isak
yang tadi tertahan kini tak dapat dibendung lagi. Mengalir deras. Tapi,
Tunggu! Itu kan Ayah. Ayah, aku di
sini! Ibu telah berbohong padaku dengan mengatakan Ayah telah meninggal. Yah,
kumohon, kemarilah. Cepatlah pulang. Buktikan pada Ibu kalau Ayah masih
bersamaku. Kumohon..
Lho, Ayah? Ayah mau kemana? Mengapa
Ayah malah melambai padaku? Yah, jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut.
Disini gelap. Ayah, mengapa Ayah tak mendengarkan kata-kataku? Ayah! Ayah..!
Ayaaah..!!
XXX
TEET!! TEET!!
Loh, rupanya aku tertidur. Huft,
syukurlah. Itu tadi mimpi yang sangat buruk yang pernah ku alami. Ya Allah,
jangan Kau jadikan mimpi tadi menjadi kenyataan.
Benar-benar hari yang penat.
Matahari terlalu murah hati untuk berbagi kehangatan dengan manusia secara
cuma-cuma. Terkadang aku berpikir, kapan sinar itu akan habis. Masih lamakah,
atau malah esok hari. Hah, sudahlah. Aku jadi melamun hingga lupa bahwa aku
sedang bersekolah.
Ku lihat sekelilingku. Oh, aku
sendiri. Tidak, tepatnya bersama deru detakan waktu yang tak akan berhenti bila
dunia belum berkahir. Haha, terlalu jauh. Bilang saja sampai jam dinding itu
kehabisan batere.
Tanpa terburu-buru ku rapikan buku-buku
yang selalu ku tumpuk di laci meja setelah jam mata pelajaran tersebut usai.
Kelas benar-benar hening sekarang. Mereka hanya meninggalkan sampah yang entah
sengaja atau tidak berserakan di lantai kelas. Benar-benar kotor. Ku bagikan
kerelaanku untuk menghapus papan tulis yang telah penuh dengan rumus-rumus yang
entah mengapa mudah sekali untuk ku pahami. Bukannya aku mau berbangga diri,
tapi memang itulah kenyataannya. Aku sendiri pun tak mengerti mengapa bisa
begitu.
Nah, selesai! Biarlah sampah itu
berserakan menunggu mereka yang berkewajiban membersihkan kelas hari ini
melakukan tugasnya. Hutang. Mereka harus bertanggung jawab atas tugas mereka.
Walaupun itu harus dikerjakan esok hari.
Baru saja ku langkahkan kaki kananku
keluar kelas, seseorang sudah hampir tersandung karenanya.
“Oh, maaf maaf..” pintaku buru-buru,
menunduk.
“Haha, never mind..”. Orang itu
tersenyum hangat dan mengacungkan ibu jari kanannya. Senyuman itu yang
membuatku bernafas lega karena terbebas dari pertikaian. Karena biasanya hampir
selalu orang yang tidak sengaja tercelakakan memandang sinis orang yang
mencelakainya. Dan tidak jarang pula hingga memakinya dengan kata-kata yang tak
sedap lagi. Kurang menghargai kata maaf.
“Maaf, aku buru-buru. Duluan ya, dan
lain kali hati-hati, hehe” pamit orang itu meninggalkanku. Aku hanya tersenyum
dan mengangguk.
Ku pandangi orang itu hingga ia
hilang dari pandanganku. Baju itu,
sepertinya aku pernah melihatnya. Bukan, bukan bajunya. Tapi lambang di
pojok rompi rajut itu. Dimana ya? Sudahlah, buat apa aku memikirkannya. Toh, ia
bukan siapa-siapa.
Tetapi, yang namanya takdir tak akan
bisa dihindari. Kalaupun ada usaha dan peluang, takdirpun hanya bisa di ubah.
Keajaibanpun tak akan lepas darinya. Baru saja ku balikkan badanku hendak menutup
pintu, sehelai kertas terongok di bawah kakiku. Ku pungut kertas itu heran.
Tertulis disana,,
REZA FAUZAN, XI A
www.devian_art.com SMA Harapan Bangsa, Lt. 03 Jl. Jend. Sudirman No. 121 Cilandak, Jakarta Selatan |
Oh, mungkin ini
milik orang itu. Hm, kalau aku kembalikan sekarang, harus kemana aku akan
mencarinya? Bayangannya saja sudah tak nampak lagi. Lebih baik kukantongi saja
ah, mungkin suatu saat nanti aku akan dipertemukan lagi dengannya. Haha, terlalu
berharapkah aku?
Kumasukkan kartu nama tersebut
kedalam saku rompi seragamku, kemudian berbalik untuk menutup pintu yang tadi belum
jadi kulakukan.
Krucuk-krucuk! Ugh, sepertinya
monster perutku sedang meraung-raung minta diisi. Dan, aku baru ingat. Sarapan
pagi tadi aku hanya menenggak segelas susu buatan Ibu. Dan istirahat tadi aku hanya
membaca buku di perpustakaan. Jadi, baiklah, aku akan pergi ke kantin sekarang.
Kuarahkan langkah kakiku menuju
kedai langgananku, nasi jagung goreng Mbak Jum. Selain harganya yang terjangkau,
rasanya pun enak. Tak hanya aku yang menyukai nasi jagung gorengnya. Para
penghuni sekolah lainnya pun menyukainya. Sebenarnya, nama Jum bukanlah nama asli pemilik kedai itu. Jum
hanya nama beken di lingkungan sekolah. Karena Mbak Jum yang tidak bisa
mengucapkan huruf ‘y’ sering mengucapkan kata yummy menjadi jummy-lah yang
menjadikan para penghuni sekolah memanggilnya dengan sebutan Mbak Jum. Tidak
terlalu buruk kan? Mbak Jum sendiri juga tidak mempermasalahkannya. Lagipula,
dengan nama itu pamor Mbak Jum semakin menanjak di lingkungan Harapan Bangsa.
Aku mengambil posisi tempat duduk
bertajuk lesehan. Menurutku, makan dengan lesehan lebih nikmat ketimbang harus duduk
di kursi yang membuat pegal tulang punggung. Dengan lesehan, aku bisa
meluruskan kaki sejenak sembari rileks menghirup aroma nasi jagung goreng
terlezat di dunia. Hahaha, hanya opiniku belaka.
“Jummy jummy.. pancen ayu.. yiihaa hei
Nina, tumben kok kamu belum pulang?” cerocos Mbak Jum dengan senandung lagu
khas Mbak Jum.
Yah, begitulah Mbak Jum, selalu
ramah da murah hati kepada siapapun. Seringkali Mbak Jum mengkorting harga
jualannya sehingga anak-anak senang mengunjungi kedainya. Mang Didik, suami
yang membantunya pun tak kalah baik darinya. Tapi, dibalik sifat baiknya itu,
ada satu sifat Mbak Jum yang sangat buruk. Mbak Jum juga terkenal sebagai biang
keladi gosip terhangat di sekolah. Huft, memang benar pepatah yang mengatakan,
sebaik-baik orang tak akan pernah bisa lolos dari perangai buruknya.
“Ahaha.. Iya Mbak, pesan satu ya
Mbak, cabenya 3”
“Oke deh”, Mbak Jum mengacungkan ibu
jarinya padaku. Aku jadi teringat dengan orang itu. Mengapa perasaanku
mengatakan aku merasa sangat mengenalnya, Tapi, sungguh, aku tidak mengenali
mukanya. Terlalu asing untuk disebut sangat mengenal.
Huft, kusandarkan punggungku ke
tirai pembatas kedai yang terbuat dari anyaman bambu. Kuamati anyaman-anyaman
tersebut. Rapi. Lembar demi lembar bambu tipis di enggok-enggokkan. Himpit
saling menghimpit dan lintang saling melintang. Memasuki terowongan yang berliku-liku
hingga tiba di suatu tempat dimana ia akan keluar, lega.
Bunyi langkah kaki Mbak Jum
mengantarkan pesananku menyadarkan lamunanku.
“Deuh, lagi ngelamun nih..
Ngelamunin urang na.. Ati-ati Teh, ntar kesambet lho..”. Mbak Jum meletakkan
sepiring nasi jagung goreng panas pesananku di atas meja.
“Jiah, kalau ngelamunin Mbak mah
ntar yang ada Nina ketawa mulu” jawabku santai.
Mbak Jum tertawa mendengar tanggapanku.
Tapi jujur, memang beberapa kali aku
pernah memikirkan Mbak Jum. Ada sesuatu dari Mbak Jum yang sangat kukagumi,
yaitu senyumnya. Belum pernah aku temui seorang Mbak Jum yang selalu bekerja
keras menjalani harinya bermuram diri. Yang nampak setiap harinya pasti haya
celotehannya. Sehari saja Mbak Jum tidak berjualan, kantin akan terasa sepi.
Hambar. Aku heran mengapa bisa begitu. Apa yang selalu membuatnya supel kepada
siapapun. Sempat terlintas dalam pikiranku bahwa Mbak Jum mengidap penyakit
gila. Karena jujur dimataku hal itu terkesan aneh. Ah, it’s impossible! Secepat
kilat kubuang peranggapan itu. Karena tidak mungkin sekali orang gila dapat
menciptakan makanan selezat ini, haha.
“Teh, urang baru dapet kabar nih. Si
itu tuh, Zora, anak kelas 8 yang sekarang jadi The Prins of Skul nya Harbang,
kemarin katanya ketahuan pulang bareng sama Neng Princess nya lho, hihi..” kata
Mbak Jum dengan pengucapan bahasa Inggris yang amburadul.
Sambil tetap mengunyah aku memandang
Mbak Jum dengan dahi berkerut. Sebutan apa tadi? Dan.. siapa tadi? Hah.. asing
untukku. Kalaupun aku tau, buat apa aku mengurusi urusan mereka. Seperti
urusanku sudah selesai saja. Aku tidak mau Mbak Jum melajutkan
kalimat-kalimatnya. Apalagi kini hanya aku seorang yang sedang makan di kedainya.
“Idih, bodo ah Mbak. Aku nggak kenal
mereka dan nggak tau mereka” responku cepat berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Apa iya? Ah masa’?” Mbak Jum
memandangiku tidak percaya, atau lebih tepatnya menggodaku. “Itu lho, yang
anaknya cakep.., tinggi.., terus.....”
Belum selesai Mbak Jum menerangkan orang yang
dimaksudnya, seorang anak datang memasuki kedai. Anak itu memakai seragam rompi
sama sepertiku. Tubuhnya tinggi dan tatapan matanya..
Aku menghentikan makanku. Aku pernah merasakan
tatapan ini! Sangat pernah. Argh! Kenapa aku ini. Daritadi selalu saja
mengatakan pernah dan pernah. Tapi mengapa semuanya hanya menjadi de javu dalam
angan-angan ku. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Bayang-bayang akan kenangan
masa lalu menari-nari di saraf neuron otakku. Ayo Nina, bangunlah dari mimpimu.
“Mbak Jum, nasi gorjangnya 1 ya” pinta orang itu.
Mbak Jum mengangguk-angguk senang.
“Oke Boss”.
“Oke Boss”.
Sebelum beranjak mengerjakan pesanan, Mbak Jum
berbisik padaku, “Hihihi.. Urang memang sedang mujur Teh. Kagak nyangka the
prins dateng ke kedai gorjag gue”. Mbak
Jum bersenandung riang. Terkikik sendiri. Membiarkan diriku diam seperti ada
yang telah menyambar perasaanku.
O..o.., dan kurasa dahiku kini sedang berkerut-kerut
tak mengerti. Ingin ku berteriak menanyakan apa maksudmu Mbak Jum. Namun
sayang, aku tak memiliki nyali untuk melakukan hal tersebut. Takut ada yang
salah dengan ucapanku. Aku tak ingin menyakiti orang dengan kata-kata yang
keluar dari lisanku. Dan itu berarti, aku akan memikirkan apa maksud kalimat
itu sendiri. Emm, tunggu! Orang itu.. Ku pandangi sekali lagi, orang itu.
Jangan-jangan, yang dimaksud Mbak Jum dengan The Prince tadi.. Zora tadi..
Zora.. Jangan-jangan..
“Tetsuya..?” ucapku tanpa sadar. Tak berkedip. Hanya
semilir angin yang bisa kurasakan sekarang. Karena hembusan nafasku sendiri pun
aku tak mendengarnya.
Merasa namanya dipanggil, orang itupun menoleh ke
arahku. Mataku belum bisa berkedip. Antara kaget, bingung, senang, tak percaya,
bercampur menjadi suatu perasaan yang ah, tidak tahu aku.
“Nina..?!” ucapnya juga tanpa sadar. Sama tak
berkedipnya denganku. Raut mukanya menggambarkan bahwa ia kaget, bingung,
khawatir, membuatku semakin menatapnya tak percaya. Benarkah itu Tetsuya?
Anak bernama Tetsuya itu berjalan menghampiriku.
Pelan-pelan, semakin dekat, dan ketika tepat di hadapan ku ia mengguncang
bahuku.
“Nin, ini benaran kamu ?!” tanyanya.
Aku yang di guncang hanya diam seribu bahasa.
Terpaku akan waktu yang sedang menderu. Memburu mangsa yang telah lama
meninggalkannya. Menatap lekat-lekat mata orang yang kini sedang mengguncangku.
“Nin,.. “
Hening.
Orang itu memelukku, “Nin, aku kangen kamu”.
Seluruh otot tubuhku menegang, deru nafasku tetap berhenti,
dan tubuhku, kaku, tak dapat kugerakkan. Tapi, perasaan ini.. aku bahagia. Aku
bahagia! Setelah sekian lama ku mencarinya, ku mengharapkannya datang, akhirnya
ia muncul dengan kehendakNya. Butiran air mata yang selama ini kusimpan
rapat-rapat dan kurahasiakan mulai merembesi pipiku. Bukan mulai, tetapi sejak
awal ku menyebut namanya butiran ini memang sudah melelehkan dirinya.
“Dasar bodoh, kemana saja kamu selama ini, aku juga
kangen tauk” isakku.
Kami berdua pun larut dalam suasana haru rindu yang
telah lama kami pendam. Tak menghiraukan suara berisik angin yang sedang
bergemuruh datang menyerbu. Hingga kami sadar akan sesuatu yang menatap kami.
“Ehem ehem !”.
Rupanya perasaan itu juga mengaburkan kesadaran kami
akan kehadiran Mbak Jum. Itu artinya, kami telah memberikan kesempatan bagi
Mbak Jum untuk memata matai dan membicarakan kami. Menyebarkan bumbu bumbu
gosip yang sepertinya akan sampai ketelinga kami dalam waktu dekat ini. Memang
terkesan sangat gede rasa. Tapi memang itulah kenyataanya.
“Eh, eh, Mbak Jum, ..”. Zora panik begitu tersadar
ia berada dimana dan bersama siapa. Mbak Jum yang tidak merasa bersalah ataupun
jengah hanya mesam mesem penuh tanda tanya. Dan aku, tetap terisak dengan
ekspresi mendatar.
“Weits, cia cia cia.. info besar nih! The Prins of Harbang
ternyata ada somting sama gadis penghuni VIII A !! ckckckck, sangat mengagumkan! Membuat kaget saya!
Xexexexe..”. Mbak Jum tertawa puas melihat kami kebingungan. Tangannya yang
sedang mengorak arik nasi gorjag pun ikut menari nari. Mengikuti irama yang
sedang disenandungkan dalam hati.
“Ugh, sepertinya bakal tambah gawat kalo terus
terusan disini. Yok Nin, kita pergi”. Zora menarik tanganku, mengajakku pergi
mengikutinya. Dan hatiku merasakan, genggaman itu juga menyiratkan bahwa ia tak
ingin aku pergi meninggalkannya untuk yang kedua kalinya.
“Untuk kalian gratis hari ini !! ^^ Yuhuuu,, selamat
bersenang senang.. !!” teriak Mbak Jum sembari melambaikan tangannya. Mulutnya
belum berhenti dengan senyuman di bibirnya.
Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang.
Aku tak akan bisa menghindar lari darinya, dan aku juga tidak akan mau
melakukan itu. Kalaupun mau tetap saja tak akan bisa. Aku merasa ada magnet
yang menarikku dengan sangat kuat. Aku tak sanggup melawannya.
Zora membawaku masuk ke lapangan tenis di samping
sekolah. Kebetulan tidak ada pertandingan ataupun latihan yang memakainya. Aku
melihat jam di pergelangan tanganku, pukul 16.00. Jam segini sekolah memang
sudah sepi ditinggal penghuninya. Hanya segelintir orang yang masih terlihat
lalu lalang. Mungkin ada kegiatan extra atau club yang mengharuskan mereka
masih tinggal. Ah, aku tak mau ambil pusing memikirkannya.
Zora mengajakku duduk di salah satu bangku suporter.
Aku masih terisak dalam sesenggukan. Tetap diam tak bicara. Payah, aku memang
cengeng !
1 komentar:
maaf, yang ini copasnya buruk bangettt T.T
Posting Komentar