Aku hanya seorang anak kelas XI SMA yang sedang menimba ilmu di
sebuah SMA di suatu kota cilik di tepi Jawa Tengah. Aku bukan
siapa-siapa, karena memang kehadiranku sama seperti kalian semua, hidup
sebagai manusia biasa. Pengetahuanku pun belum seberapa, belum genap 2
bulan juga umurku berubah menjadi 17 tahun. Nah, bagi kalian yang
menganggapku ada apa-apanya, maaf kalian salah, karena aku juga bisa
menyimpan air mata sama halnya seperti kalian.
Namun bukan hanya aku saja rupanya yang bisa menyimpan atau bahkan menahan air mata tersebut. Kami. Ya, lebih pantas aku akan menyebutnya dengan sebutan kami.
Hampir 15 tahun ini kami bersama-sama berjuang mati-matian menepis segala perasaan yang bisa membuat kami tertunduk dihadapan duka, membuat kami tertunduk di hadapan kalian yang tak henti-hentinya menggempur hingga membabi buta mencemoohkan jalan juang kami. Selama itu pula kami berusaha menguatkan kesabaran kami di atas segala macam musibah yang memang sengaja ‘kalian datangkan’ untuk menghancurkan elektabilitas kami. Namun ternyata, sekian tahun itu tidak membuat Allah mendatangkan hidayah kepada kalian jua rupanya. Wah, kasihan sekali kalian, Allah masih memutuskan untuk menunda kehadiran hidayahNya untuk kalian.
Aduh salah. Tadi kan sudah aku katakan, aku bukanlah siapa-siapa. Jadi tidak pantas dong kalau aku menjudge kalian sampai seperti itu. Atas dasar apa?
Untuk pertanyaan ini aku akan jawab, atas dasar hati.
Aku heran dengan kalian, mengapa kalian berkelakuan seperti tak ada hati sebagaimana yang sudah dimiliki manusia pada umumnya sejak mereka di anugerahkan ruh oleh Yang Maha Pencipta? Mengapa? Mengapa kalian senang sekali memfitnah, mencaci hina, mendownkan dan rela melakukan segala apa hingga mengorbankan nama rakyat hanya untuk menjatuhkan dan membumi hanguskan kami? Mengapa???
Itu qadarullah nak, sudah Allah nas kan itu dalam Al-Qur’an :”)
Itulah jawaban yang selalu aku dapatkan ketika aku bertanya ini itu kepada siapapun yang aku temui di jalan ini. Ummi Abi Ami’ ‘Ammah itu bukannya ikut membenci kalian seperti yang aku alami sekarang, namun malah menasehati diriku dengan perkataan yang sangat lembut hingga aku benar-benar tega untuk menjatuhkan air mata.
Ingin sekali rasanya berontak, saat perasaan yang berkecamuk seperti ini dirasakan oleh seorang pemuda yang masih dalam perkembangan yang labil. Kapan? Kapan keadilan itu akan hadir untuk kami?? Sehina itu kah nilai kebaikan yang kami sebarkan di mata kalian sehingga membuat kalian sangat benci terhadap kehadiran kami?
Da’i sekelas Rasulullah saja banyak yang membenci, bagaimana dengan kita yang manusia biasa?
Itulah jawaban Abi atas pertanyaanku pada suatu hari “)
Dalam hatiku bertanya, lalu bagaimanakah perasaan para qiyadah terdahulu saat harus memulai jalan dakwah ini dari angka nol??
asgkjshdskfyshd-
Sungguh, aku masih harus belajar lebih dalam lagi rupanya agar aku bisa menguatkan benteng pertahanan hati ini sendiri.
Disaat suatu keburukan muncul setitik saja dalam suatu komunitas kebaikan, berbagai cacian akan dengan cepatnya melesat menyebar menjalar merampas opini baik di mata masyarakat. Namun apabila disaat suatu keburukan muncul hingga sebelangga dalam suatu komunitas keburukan, maka dengan cepatnya pula masyarakat akan mengabaikan dan malah bersikap seolah mata mereka itu sedang buta.
Ironinya dunia. Anak kecil seusiaku saja dapat merasakannya, kebangetan kalau yang dewasa malah membentengi hatinya dan menutup mata dan mengunci akalnya. Hati-hati, saat Allah sudah membekukan sebuah hati, maka kebaikan seruncing apapun tak akan mampu menghancurkannya, sekalipun hanya meretakkannya. Kecuali Allah hendak berkehendak kembali.
Wallahu’alam bisshowab.
Yang jelas hatiku kini sedang berbicara pada sunyi.
16.31
on tumblr
Namun bukan hanya aku saja rupanya yang bisa menyimpan atau bahkan menahan air mata tersebut. Kami. Ya, lebih pantas aku akan menyebutnya dengan sebutan kami.
Hampir 15 tahun ini kami bersama-sama berjuang mati-matian menepis segala perasaan yang bisa membuat kami tertunduk dihadapan duka, membuat kami tertunduk di hadapan kalian yang tak henti-hentinya menggempur hingga membabi buta mencemoohkan jalan juang kami. Selama itu pula kami berusaha menguatkan kesabaran kami di atas segala macam musibah yang memang sengaja ‘kalian datangkan’ untuk menghancurkan elektabilitas kami. Namun ternyata, sekian tahun itu tidak membuat Allah mendatangkan hidayah kepada kalian jua rupanya. Wah, kasihan sekali kalian, Allah masih memutuskan untuk menunda kehadiran hidayahNya untuk kalian.
Aduh salah. Tadi kan sudah aku katakan, aku bukanlah siapa-siapa. Jadi tidak pantas dong kalau aku menjudge kalian sampai seperti itu. Atas dasar apa?
Untuk pertanyaan ini aku akan jawab, atas dasar hati.
Aku heran dengan kalian, mengapa kalian berkelakuan seperti tak ada hati sebagaimana yang sudah dimiliki manusia pada umumnya sejak mereka di anugerahkan ruh oleh Yang Maha Pencipta? Mengapa? Mengapa kalian senang sekali memfitnah, mencaci hina, mendownkan dan rela melakukan segala apa hingga mengorbankan nama rakyat hanya untuk menjatuhkan dan membumi hanguskan kami? Mengapa???
Itu qadarullah nak, sudah Allah nas kan itu dalam Al-Qur’an :”)
Itulah jawaban yang selalu aku dapatkan ketika aku bertanya ini itu kepada siapapun yang aku temui di jalan ini. Ummi Abi Ami’ ‘Ammah itu bukannya ikut membenci kalian seperti yang aku alami sekarang, namun malah menasehati diriku dengan perkataan yang sangat lembut hingga aku benar-benar tega untuk menjatuhkan air mata.
Ingin sekali rasanya berontak, saat perasaan yang berkecamuk seperti ini dirasakan oleh seorang pemuda yang masih dalam perkembangan yang labil. Kapan? Kapan keadilan itu akan hadir untuk kami?? Sehina itu kah nilai kebaikan yang kami sebarkan di mata kalian sehingga membuat kalian sangat benci terhadap kehadiran kami?
Da’i sekelas Rasulullah saja banyak yang membenci, bagaimana dengan kita yang manusia biasa?
Itulah jawaban Abi atas pertanyaanku pada suatu hari “)
Dalam hatiku bertanya, lalu bagaimanakah perasaan para qiyadah terdahulu saat harus memulai jalan dakwah ini dari angka nol??
asgkjshdskfyshd-
Sungguh, aku masih harus belajar lebih dalam lagi rupanya agar aku bisa menguatkan benteng pertahanan hati ini sendiri.
Disaat suatu keburukan muncul setitik saja dalam suatu komunitas kebaikan, berbagai cacian akan dengan cepatnya melesat menyebar menjalar merampas opini baik di mata masyarakat. Namun apabila disaat suatu keburukan muncul hingga sebelangga dalam suatu komunitas keburukan, maka dengan cepatnya pula masyarakat akan mengabaikan dan malah bersikap seolah mata mereka itu sedang buta.
Ironinya dunia. Anak kecil seusiaku saja dapat merasakannya, kebangetan kalau yang dewasa malah membentengi hatinya dan menutup mata dan mengunci akalnya. Hati-hati, saat Allah sudah membekukan sebuah hati, maka kebaikan seruncing apapun tak akan mampu menghancurkannya, sekalipun hanya meretakkannya. Kecuali Allah hendak berkehendak kembali.
Wallahu’alam bisshowab.
Yang jelas hatiku kini sedang berbicara pada sunyi.
16.31
on tumblr