"Uh, gimana caranya ya biar aku bisa ambil cermai itu?". Aku pandangi cermai-cermai yang bergelantungan dipohon dekat rumahku.. Bergoyang-goyang membuat lidah ini ingin merasakan asam manisnya. Sempat, terlintas dipikiranku untuk memanjatnya seperti yang dulu pernah diajarkan Kak Reza. Tapi aku harus berpikir dua kali kalau benar-benar ingin memanjatnya. Pohon ini dekat dengan rumahku. Jika bibi sampai tahu aku meniru kebiasaan anak laki-laki, bisa-bisa aku tidak diperbolehkannya bermain selama satu pekan. Oh tidak!
Aku pun berjalan menyisiri sekitar pohon itu, berharap aku bisa menemukan sebuah ranting atau apalah yang panjang yang bisa membuat cermai-cermai itu berhenti bergoyang jatuh berguguran. Ayolah..
"Hei, lagi apa?" kata seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku sedikit kaget dengan kehadirannya, sehingga tanpa sengaja kakiku refleks bergerak menjauhinya. Dan aku makin kaget ketika melihat siapa yang berkata.
"Loh, kamu kan.. anak yang waktu itu?" tanyaku tak percaya. Terlebih lagi dengan penampilannya. Plester melekat di dahi dan pergelangan tangannya, perban membalut sedikit lengan tangan dan kakinya. Dan yang seram, tawanya muncul dengan tiba-tiba.
"Hahaha, kamu masih ingat ya rupanya. Itu kejadian konyol yang menggelikan," katanya santai.
Tanpa perhitungan, refleks aku dekati ia untuk memeriksa plester dan perban-perban tersebut, "Bodoh! Apa yang seperti ini disebut konyol?" bentakku agak keras. Perasaan cemas khawatir marah semua menjadi satu. Tanpa sadar, aku terlalu kuat mencengkeram tangannya, tepat pada titik yang terluka.
"Akh!!" ia mengibaskan tangannya, "Jangan kencang-kencang, masih sakit dodol!"
"Eh iya, maaf.." ucapku merasa bersalah. Ia masih mengibas-ngibaskan tangannya.
"Tapi ga seberapa ding sakitnya, hehe.." anak itu meringis ke arahku. Dan aku menanggapinya dengan muka datar. Heran, masih aja sempat-sempatnya senyum.
"Ngomong-ngomong, daritadi kamu ngapain mondar mandir disekitar sini? Butuh bantuan?"
Ya, aku masih ingat. Hari itu adalah H+2 setelah kejadian di lapangan basket. Sebelum hari itu, belum pernah sama sekali aku bertemu dengannya lagi. Padahal kala itu, aku sangat mengharapkannya. Dan dihari itu, saat aku sudah mulai melupakannya, eh, dia malah menampakkan dirinya. Dalam keadaan yang aneh pula. Aku tidak pernah tahu, sejak kapan ia mulai menjadi suka tersenyum begitu. Sampai Sekarang. Dan aku sama sekali tak berminat untuk menanyakannya. Karena entah mengapa, dalam pikiranku aku selalu mengatakan tidak untuk hal ini. Padahal sebagai teman dekatnya seharusnya aku tau. Haha, mungkin inilah yang dinamakan sebagai takdir tak terjawab.
Ditanya seperti itu aku hanya terdiam, melamun, kemudian menggeleng, "Hei, maafin aku ya, gara-gara ulahku kamu jadi yang kena getahnya. Waktu itu aku ingin mengejarmu, tapi nggak bisa, kakiku rapuh. Sedih.. maaf ya.. "sesalku sedih. Aku tak berani menatapnya.
"Hahahaha"
"Kok kamu malah ketawa?" tanyaku semakin sedih.
"Hal begitu itu nggak usah banyak diingat lah. Biar aja itu menjadi kisah dalam diary waktu. Pengen ketawa tauk kalo ingat tingkah kita waktu itu, hahaha."
Aneh sekali anak ini. Sebenarnya apa yang ada di dalam pikirannya itu?
Anak itu tersenyum, "Okelah, aku sudah memaafkanmu kok, jangan murung lagi sekarang."
Ku beranikan diriku menatap dirinya. Ada senyum keramahan terpancar disana. Dan pelan-pelan, rasa sedih itu mulai menghilang, berganti dengan rasa hangatnya berkawan. Aku tersenyum.
"Hei, kok malah bengong? Kamu butuh bantuan kan? Ayo mengaku saja" desaknya.
"Mmm sejujurnya sih iya. Aku pengen ambil cermai itu, tapi daritadi nggak ada ranting atau apalah sesuatu yang panjang buat metik. Pengen manjat, tapi takut kena hukum," laporku malu-malu.
Anak itu tersenyum, "Oh gitu, serahkan aja sini sama aku," ia bergegas melepas sepatunya. Sempat aku ragu dengannya karena dari gelagatnya ia berencana untuk memanjat pohon itu. Dengan kondisi seperti itu, memanjat? Yang benar saja.
"Tunggu! Kamu.. mau memanjatnya?" tanyaku ragu.
"Iyalah. Udah kamu tenang aja, nggak usah ikut campur untuk yang ini :p"
Dengan cekatan dan tenang, ia memanjat pohon itu tanpa terlihat kesakitan. Ia memanjat sambil menggenggam sebuah kotak kecil yang kupersiapkan untuk tempat cermainya. Karena jika buah itu jatuh, aku sudah bilang padanya aku tidak mau memakannya.
"Hei, nggak usah banyak banyak.." perintahku sekaligus menyiratkannya untuk cepat turun. Dan ia memahami itu.
HUP. Ia melompat, "Nih,," ia sodorkan kotak cermai itu padaku.
"Waah terimakasih banyak.." kataku senang. "Ayo sini, kita makan bersama saja", aku menarik tangannya, menagajaknya mengikutiku.
Saat itu dia masih diam tak memberi tahu. Tapi ketika akan duduk,
"Argh..!"
Aku yang mendengar itu kaget, "Kamu kenapa?" Aku menatapnya khawatir. Pikiranku sudah terbang kemana mana. Aku takut terjadi sesuatu padanya akibat memanjat pohon itu. Dan benar saja, tangannya.. Telapak tangannya sudah lecet tak terkira. Luka yang tadinya sudah mengering kini terbuka berdarah lagi tergesek kulit batang dahan ranting yang kasar. Beruntung aku membawa sedikit air dari kolam yang sempat aku singgahi tadi. Dengan segera aku cuci lukanya agar jumlah bakteri yang terlanjur masuk tidak bertambah lagi. Aku sempat melihatnya meringis saat kuobati. Mungkin oerih.
"Tuh kan, cemasku terjadi kan. Jadinya malah begini nih" omelku agak kesal.
"Jangan marah dong. Habisnya aku terlanjur benci pada diriku sendiri yang kemarin tega membiarkanmu maju seorang diri. Seharusnya sebagai teman aku bisa tahu diri dalam hal mengambil sikap. Kata Bunda, aku harus belajar bersikap dewasa kek orang besar. Tapi apa, aku belum bisa..."
"Cukup!" Aku tertunduk, mencengkeram rumput kuat-kuat. Mataku mulai berkaca kaca.
Anak itu terhenyak melihatku, "Lhah, kamu kenapa?"
Aku masih diam, berusaha berbicara, "Kau.. kau.. mengingatkanku pada seseorang.." mulai terisak.
Anak itu hanya diam tak berkomentar, memberiku kesempatan untuk bercerita lebih banyak.
"Orang itu.. hiks.. meninggalkanku sendirian, begitu saja.. Padahal saat itu.. aku sedang belajar banyak darinya.. Dan sekarang, sama sepertimu.. aku.. belum bisa jadi dewasa.. aku ingin jadi orang dewasa huaaa..> <". Anak itu tertegun melihatku.
Diam mengitari bayang-bayang disekitar kami. Menikam sepi gemuruh luka batin yang sukar diobati. Melipat rindu yang dulu sempat rapi.
"Maaf ya, aku sudah buat kamu.. menangis, la-gi.." sesal anak itu ikutan menunduk.
Lagi? Lagi tersebut untuk yang keberapa kalinya?
Buru-buru aku menghapus air mataku karena tersadar kali ini aku sedang apa, "Nggak apa. Udah, nggak usah dipikirin ceritaku tadi, haha"
"Aku diberitahu Bunda. Kalau kita melihat teman kita menangis, hiburlah ia dengan memberinya makanan yang manis agar ia bisa tersenyum kembali. Tapi sekarang, yang ada hanya cermai yang masam ini. Aku yakin, cermai ini tidak akan bisa membuatmu tersenyum. Namun, aku yakin, ia punya keistimewaan. Ia akan membuatmu tertawa." Ia menyodorkan kotak buahku padaku. Aku menatapnya. Ia mengangguk.
Ragu-ragu aku mengambil sebuah cermai berwarna hijau yang berukuran paling besar. Aku kira itulah yang paling matang. Baru setelah aku menggigitnya, "Hei, asemm bangett! haha". Bodohnya aku. Sudah jelas warna masih hijau begitu masih saja dimakan.
"Makanya, ambil tuh yang agak kuningan begini" ledek anak itu. Aku hanya nyegir.
"Eh tapi gamau, pokoknya kamu harus coba juga yang ijo kek gini" paksaku sambil menyodorkan cermai yang warnanya lebih hijau dari milikku tadi.
Baru saja ia menggigit, langsung ia muntahkan cermai itu, "Bwehhh! apaan ini!" , ia meringis, "Asem dodol! hahaha". Aku nyengir kuda melihatnya.
"Oya, kita kan belum tau nama masing-masing" celetuknya menyadarkanku. Benar juga ._.
"Hah iya ya, mm kenalin, aku Na Dania. Panggil aja Nina" mulaiku sambil mengulurkan tangan.
Ia menyambut uluran tanganku, "Aku Zora Tetsuya". Kami saling berjabat tangan tanda pertemanan telah disahkan.
"Mulai sekarang kita berteman ya. Berteman seperti cermai. Saling bersatu walaupun kita jauh, saling dukung kalau kita jatuh, dan saling bantu walaupun kita jenuh,"
"Walaupun kita jenuh? apa maksudnya, aku tak paham?"
"Jenuh itu merupakan wujud asam dari cermai. Coba, kalau bener-bener asam, terus kamu nggak kuat, apa yang akan kamu lakukan? Kamu pasti akan menyepah cermai itu kan. Jadi aku nggak mau kita saling menyepah satu sama lain. Saling menasehati begitu, oke?" ia tersenyum.
"Siiiipp!" balasku dengan kedipan mata. Kami pun tertawa bersama-sama.
"Eh ayo makan cermainya lagi," ajakku. Cermainya masih ada beberapa buah di dalam kotak.
"Ogah ah, kamu aja deh. Cermai disini asam banget Nin!" tolaknya.
"Yee Tetsu cemen" ejekku sambil memasukkan satu cermai kemulutku.
Aku pun berjalan menyisiri sekitar pohon itu, berharap aku bisa menemukan sebuah ranting atau apalah yang panjang yang bisa membuat cermai-cermai itu berhenti bergoyang jatuh berguguran. Ayolah..
"Hei, lagi apa?" kata seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku sedikit kaget dengan kehadirannya, sehingga tanpa sengaja kakiku refleks bergerak menjauhinya. Dan aku makin kaget ketika melihat siapa yang berkata.
"Loh, kamu kan.. anak yang waktu itu?" tanyaku tak percaya. Terlebih lagi dengan penampilannya. Plester melekat di dahi dan pergelangan tangannya, perban membalut sedikit lengan tangan dan kakinya. Dan yang seram, tawanya muncul dengan tiba-tiba.
"Hahaha, kamu masih ingat ya rupanya. Itu kejadian konyol yang menggelikan," katanya santai.
Tanpa perhitungan, refleks aku dekati ia untuk memeriksa plester dan perban-perban tersebut, "Bodoh! Apa yang seperti ini disebut konyol?" bentakku agak keras. Perasaan cemas khawatir marah semua menjadi satu. Tanpa sadar, aku terlalu kuat mencengkeram tangannya, tepat pada titik yang terluka.
"Akh!!" ia mengibaskan tangannya, "Jangan kencang-kencang, masih sakit dodol!"
"Eh iya, maaf.." ucapku merasa bersalah. Ia masih mengibas-ngibaskan tangannya.
"Tapi ga seberapa ding sakitnya, hehe.." anak itu meringis ke arahku. Dan aku menanggapinya dengan muka datar. Heran, masih aja sempat-sempatnya senyum.
"Ngomong-ngomong, daritadi kamu ngapain mondar mandir disekitar sini? Butuh bantuan?"
Ya, aku masih ingat. Hari itu adalah H+2 setelah kejadian di lapangan basket. Sebelum hari itu, belum pernah sama sekali aku bertemu dengannya lagi. Padahal kala itu, aku sangat mengharapkannya. Dan dihari itu, saat aku sudah mulai melupakannya, eh, dia malah menampakkan dirinya. Dalam keadaan yang aneh pula. Aku tidak pernah tahu, sejak kapan ia mulai menjadi suka tersenyum begitu. Sampai Sekarang. Dan aku sama sekali tak berminat untuk menanyakannya. Karena entah mengapa, dalam pikiranku aku selalu mengatakan tidak untuk hal ini. Padahal sebagai teman dekatnya seharusnya aku tau. Haha, mungkin inilah yang dinamakan sebagai takdir tak terjawab.
Ditanya seperti itu aku hanya terdiam, melamun, kemudian menggeleng, "Hei, maafin aku ya, gara-gara ulahku kamu jadi yang kena getahnya. Waktu itu aku ingin mengejarmu, tapi nggak bisa, kakiku rapuh. Sedih.. maaf ya.. "sesalku sedih. Aku tak berani menatapnya.
"Hahahaha"
"Kok kamu malah ketawa?" tanyaku semakin sedih.
"Hal begitu itu nggak usah banyak diingat lah. Biar aja itu menjadi kisah dalam diary waktu. Pengen ketawa tauk kalo ingat tingkah kita waktu itu, hahaha."
Aneh sekali anak ini. Sebenarnya apa yang ada di dalam pikirannya itu?
Anak itu tersenyum, "Okelah, aku sudah memaafkanmu kok, jangan murung lagi sekarang."
Ku beranikan diriku menatap dirinya. Ada senyum keramahan terpancar disana. Dan pelan-pelan, rasa sedih itu mulai menghilang, berganti dengan rasa hangatnya berkawan. Aku tersenyum.
"Hei, kok malah bengong? Kamu butuh bantuan kan? Ayo mengaku saja" desaknya.
"Mmm sejujurnya sih iya. Aku pengen ambil cermai itu, tapi daritadi nggak ada ranting atau apalah sesuatu yang panjang buat metik. Pengen manjat, tapi takut kena hukum," laporku malu-malu.
Anak itu tersenyum, "Oh gitu, serahkan aja sini sama aku," ia bergegas melepas sepatunya. Sempat aku ragu dengannya karena dari gelagatnya ia berencana untuk memanjat pohon itu. Dengan kondisi seperti itu, memanjat? Yang benar saja.
"Tunggu! Kamu.. mau memanjatnya?" tanyaku ragu.
"Iyalah. Udah kamu tenang aja, nggak usah ikut campur untuk yang ini :p"
Dengan cekatan dan tenang, ia memanjat pohon itu tanpa terlihat kesakitan. Ia memanjat sambil menggenggam sebuah kotak kecil yang kupersiapkan untuk tempat cermainya. Karena jika buah itu jatuh, aku sudah bilang padanya aku tidak mau memakannya.
"Hei, nggak usah banyak banyak.." perintahku sekaligus menyiratkannya untuk cepat turun. Dan ia memahami itu.
HUP. Ia melompat, "Nih,," ia sodorkan kotak cermai itu padaku.
"Waah terimakasih banyak.." kataku senang. "Ayo sini, kita makan bersama saja", aku menarik tangannya, menagajaknya mengikutiku.
Saat itu dia masih diam tak memberi tahu. Tapi ketika akan duduk,
"Argh..!"
Aku yang mendengar itu kaget, "Kamu kenapa?" Aku menatapnya khawatir. Pikiranku sudah terbang kemana mana. Aku takut terjadi sesuatu padanya akibat memanjat pohon itu. Dan benar saja, tangannya.. Telapak tangannya sudah lecet tak terkira. Luka yang tadinya sudah mengering kini terbuka berdarah lagi tergesek kulit batang dahan ranting yang kasar. Beruntung aku membawa sedikit air dari kolam yang sempat aku singgahi tadi. Dengan segera aku cuci lukanya agar jumlah bakteri yang terlanjur masuk tidak bertambah lagi. Aku sempat melihatnya meringis saat kuobati. Mungkin oerih.
"Tuh kan, cemasku terjadi kan. Jadinya malah begini nih" omelku agak kesal.
"Jangan marah dong. Habisnya aku terlanjur benci pada diriku sendiri yang kemarin tega membiarkanmu maju seorang diri. Seharusnya sebagai teman aku bisa tahu diri dalam hal mengambil sikap. Kata Bunda, aku harus belajar bersikap dewasa kek orang besar. Tapi apa, aku belum bisa..."
"Cukup!" Aku tertunduk, mencengkeram rumput kuat-kuat. Mataku mulai berkaca kaca.
Anak itu terhenyak melihatku, "Lhah, kamu kenapa?"
Aku masih diam, berusaha berbicara, "Kau.. kau.. mengingatkanku pada seseorang.." mulai terisak.
Anak itu hanya diam tak berkomentar, memberiku kesempatan untuk bercerita lebih banyak.
"Orang itu.. hiks.. meninggalkanku sendirian, begitu saja.. Padahal saat itu.. aku sedang belajar banyak darinya.. Dan sekarang, sama sepertimu.. aku.. belum bisa jadi dewasa.. aku ingin jadi orang dewasa huaaa..> <". Anak itu tertegun melihatku.
Diam mengitari bayang-bayang disekitar kami. Menikam sepi gemuruh luka batin yang sukar diobati. Melipat rindu yang dulu sempat rapi.
"Maaf ya, aku sudah buat kamu.. menangis, la-gi.." sesal anak itu ikutan menunduk.
Lagi? Lagi tersebut untuk yang keberapa kalinya?
Buru-buru aku menghapus air mataku karena tersadar kali ini aku sedang apa, "Nggak apa. Udah, nggak usah dipikirin ceritaku tadi, haha"
"Aku diberitahu Bunda. Kalau kita melihat teman kita menangis, hiburlah ia dengan memberinya makanan yang manis agar ia bisa tersenyum kembali. Tapi sekarang, yang ada hanya cermai yang masam ini. Aku yakin, cermai ini tidak akan bisa membuatmu tersenyum. Namun, aku yakin, ia punya keistimewaan. Ia akan membuatmu tertawa." Ia menyodorkan kotak buahku padaku. Aku menatapnya. Ia mengangguk.
Ragu-ragu aku mengambil sebuah cermai berwarna hijau yang berukuran paling besar. Aku kira itulah yang paling matang. Baru setelah aku menggigitnya, "Hei, asemm bangett! haha". Bodohnya aku. Sudah jelas warna masih hijau begitu masih saja dimakan.
"Makanya, ambil tuh yang agak kuningan begini" ledek anak itu. Aku hanya nyegir.
"Eh tapi gamau, pokoknya kamu harus coba juga yang ijo kek gini" paksaku sambil menyodorkan cermai yang warnanya lebih hijau dari milikku tadi.
Baru saja ia menggigit, langsung ia muntahkan cermai itu, "Bwehhh! apaan ini!" , ia meringis, "Asem dodol! hahaha". Aku nyengir kuda melihatnya.
"Oya, kita kan belum tau nama masing-masing" celetuknya menyadarkanku. Benar juga ._.
"Hah iya ya, mm kenalin, aku Na Dania. Panggil aja Nina" mulaiku sambil mengulurkan tangan.
Ia menyambut uluran tanganku, "Aku Zora Tetsuya". Kami saling berjabat tangan tanda pertemanan telah disahkan.
"Mulai sekarang kita berteman ya. Berteman seperti cermai. Saling bersatu walaupun kita jauh, saling dukung kalau kita jatuh, dan saling bantu walaupun kita jenuh,"
"Walaupun kita jenuh? apa maksudnya, aku tak paham?"
"Jenuh itu merupakan wujud asam dari cermai. Coba, kalau bener-bener asam, terus kamu nggak kuat, apa yang akan kamu lakukan? Kamu pasti akan menyepah cermai itu kan. Jadi aku nggak mau kita saling menyepah satu sama lain. Saling menasehati begitu, oke?" ia tersenyum.
"Siiiipp!" balasku dengan kedipan mata. Kami pun tertawa bersama-sama.
"Eh ayo makan cermainya lagi," ajakku. Cermainya masih ada beberapa buah di dalam kotak.
"Ogah ah, kamu aja deh. Cermai disini asam banget Nin!" tolaknya.
"Yee Tetsu cemen" ejekku sambil memasukkan satu cermai kemulutku.
0 komentar:
Posting Komentar